Bagaimana Nasib Aktivis 1998 yang Lantang Kritik Pemerintah dalam Peristiwa Reformasi, Benarkah  Sudah Duduk Nyaman dan Mapan?

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Pergerakan mahasiswa tahun 1998 merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa itu, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi dan politik yang serius, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak yang drastis dan munculnya skandal korupsi yang melibatkan Presiden Soeharto dan keluarganya.

Krisis tersebut menyebabkan ketidakpuasan dan kemarahan rakyat Indonesia yang semakin meningkat. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok yang paling vokal dalam menuntut perubahan dan reformasi di Indonesia. Mereka mengorganisir aksi-aksi protes dan demonstrasi besar-besaran yang mengecam kebijakan pemerintah yang dianggap korup dan otoriter.

Pada tanggal 12 Mei 1998, sebuah insiden yang sangat penting terjadi di Universitas Trisakti di Jakarta. Empat mahasiswa tewas dalam aksi demonstrasi yang menuntut reformasi politik dan ekonomi. Insiden ini memicu kemarahan dan protes yang lebih besar dari mahasiswa dan masyarakat Indonesia secara umum.

Aksi-aksi protes mahasiswa diikuti oleh masyarakat luas dan akhirnya memuncak pada pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Pergerakan mahasiswa 1998 menjadi salah satu faktor utama yang memicu perubahan politik dan demokratisasi di Indonesia.

Dalam pergerakan mahasiswa tahun 1998, mahasiswa memainkan peran penting sebagai agen perubahan dalam membawa Indonesia menuju ke arah yang lebih baik dan demokratis. Mereka tidak hanya menuntut reformasi politik dan ekonomi, tetapi juga menunjukkan keberanian dan tekad yang luar biasa dalam melawan pemerintah yang korup dan otoriter.

Namun, pergerakan mahasiswa tahun 1998 juga menunjukkan beberapa kelemahan, seperti kurangnya koordinasi dan strategi yang jelas di antara kelompok mahasiswa yang berbeda. Selain itu, pergerakan ini juga menunjukkan bahwa perubahan politik yang diinginkan oleh mahasiswa tidak akan terjadi secara instan, tetapi membutuhkan kerja keras dan komitmen jangka panjang.

Dapat deisimpulkan pergerakan mahasiswa tahun 1998 merupakan sebuah peristiwa yang penting dalam sejarah Indonesia. Meskipun memiliki kelemahan, pergerakan ini berhasil membawa perubahan yang signifikan dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Peran penting yang dimainkan oleh mahasiswa dalam pergerakan ini juga menunjukkan betapa pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Nyaman dan Mapan?

Dikutip dari intisarionline.com, 

Peristiwa reformasi pada tahun 1998 merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia. Saat itu, rakyat Indonesia menuntut berakhirnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama lebih dari tiga dekade.

 

Salah satu kelompok yang berperan aktif dalam gerakan reformasi adalah para aktivis mahasiswa dan pemuda yang lantang mengkritik pemerintah dan menyerukan perubahan politik.

 

Namun, apa yang terjadi dengan para aktivis 1998 setelah reformasi berhasil? Apakah mereka masih terlibat dalam perjuangan demokrasi atau beralih ke jalur lain?

Berikut ini kami sajikan profil singkat dan nasib lima aktivis 1998 yang kini memiliki peran berbeda di masyarakat.

Adian Napitupulu

Adian Napitupulu merupakan salah satu tokoh aktivis 1998 yang kini menjadi politisi. Ia lahir di Jakarta pada 7 Oktober 1973 dan menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Saat menjadi mahasiswa, ia aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan gerakan sosial. Ia juga menjadi salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menentang Orde Baru.

Adian sempat ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap terlibat dalam kerusuhan 27 Juli 1996. Ia dibebaskan pada tahun 1999 setelah reformasi.

Pada tahun 2004, Adian memutuskan untuk masuk ke dunia politik dengan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Ia berhasil menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dari daerah pemilihan Sumatera Utara II. Ia kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024 dari daerah pemilihan DKI Jakarta III.

Masinton Pasaribu

Masinton Pasaribu juga merupakan aktivis 1998 yang kini menjadi politisi dari PDIP. Ia lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 11 Februari 1971.

Ia menempuh pendidikan hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Saat menjadi mahasiswa, ia terlibat dalam berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi dan menggulingkan Soeharto.

Setelah lulus kuliah, Masinton melanjutkan aktivismenya dengan bergabung dengan gerakan buruh.

Ia juga menjadi salah satu pendiri dan ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), sebuah sayap organisasi dari PDIP yang dibentuk pada tahun 2004. Ia kemudian memutuskan untuk maju sebagai calon legislatif dari PDIP pada Pemilu 2009.

 

Masinton berhasil menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat I. Pada tahun 2014, Masinton kembali terpilih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan yang sama.

Budiman Sudjatmiko

Budiman Sudjatmiko merupakan aktivis 1998 yang kini menjadi politisi dan akademisi. Ia lahir di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah pada 10 Maret 1970.

Ia menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), namun tidak menyelesaikannya karena terlibat dalam gerakan mahasiswa. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di bidang ilmu politik di Universitas London dan hubungan internasional di Universitas Cambridge, Inggris.

Budiman dikenal sebagai salah satu pendiri dan pemimpin Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menentang Orde Baru. Ia juga membacakan manifesto PRD di ruang sidang pada tahun 1996.

Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Orde Baru dengan tuduhan subversi dan penghinaan terhadap pemerintah. Ia divonis 13 tahun penjara, namun dibebaskan pada tahun 1999 setelah reformasi.

Setelah bebas dari penjara, Budiman bergabung dengan PDIP pada tahun 2004. Ia berhasil menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dari daerah pemilihan Jawa Tengah VIII. Ia kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019 dari daerah pemilihan yang sama.

Fadli Zon

Fadli Zon merupakan aktivis 1998 yang kini menjadi politisi dan wakil ketua umum Partai Gerindra. Ia lahir di Jakarta pada 1 Juni 1971. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan jurusan sastra Rusia.

Fadli aktif dalam berbagai kegiatan diskusi dan organisasi sejak duduk di bangku SMP. Saat menjadi mahasiswa UI, ia terlibat dalam berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi dan menggulingkan Soeharto.

Ia juga menjadi salah satu pendiri dan ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada tahun 1998.

Pada tahun 2004, Fadli memutuskan untuk masuk ke dunia politik dengan bergabung dengan Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Ia berhasil menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019 dari daerah pemilihan Jawa Barat V. Ia kemudian ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan Keamanan.

Pada tahun 2019, Fadli kembali terpilih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan yang sama. Ia juga menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sejak tahun 2008 hingga sekarang. Ia juga menjadi Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI periode 2019-2024.

Fahri Hamzah

Fahri Hamzah merupakan aktivis 1998 yang kini menjadi politisi dan pendiri Partai Gelora Indonesia. Ia lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada 10 November 1971.

Ia menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 2003. Saat menjadi mahasiswa, ia terlibat dalam berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi dan menggulingkan Soeharto.

Pada tahun 2004, ia bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan NTB. Ia terpilih ke komisi III yang membidangi hukum dan menjadi wakil ketua. Ia terpilih kembali dalam pemilu 2009 dan 2014.

Pada tahun 2016, ia diberhentikan dari keanggotaan PKS karena dianggap melanggar kode etik partai. Ia kemudian mendirikan Partai Gelora Indonesia bersama Anis Matta pada tahun 2019.

Pada tahun 2019, Fahri tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI. Ia kemudian mendirikan Partai Gelora Indonesia bersama Anis Matta pada tahun 2020. Partai ini mengusung visi untuk mewujudkan Indonesia sejahtera, adil, dan bermartabat.***